Kamis, 06 Maret 2014

Jawah



“Sepanjang jalan di temani hujan. Sayangnya.. aku selalu tak bisa menangkap partikel hujan. Rintiknya selalu pecah saat ku gapai.”

“langit yang dibersamai hujan itu cantik. Lalu rintik yang dibersamai kilat lampu juga cantik. Ah, saya selalu membayangkan bisa melihatnya dengan mode ‘slow motion’.”

*yey.. hal yang paling gak penting adalah siang kemarin. Tepatnya hari rabu siang. Saat perjalanan pulang dari kunjungan ke lapangan, mata saya tetiba begitu tertarik pada langit. Kala itu langit mendung. Tapi saya jatuh hati sama gumpalan awan nya. Dan serta merta saya berhenti, lalu dengan tidak pentingnya, saya memotret awan-awan itu. Di pinggir jalan, sendirian, senyam senyum sendiri, lalu mata saya mungkin akan terlihat berbinar-binar, seperti anak kecil yang dapat mainan baru. Begitulah mungkin gambaran saya kala itu.  -__- #gakpentingpakebanget

Lumayan lama saya berhenti. Liat langit, liat gumpalan awan kelabu itu berarak ke suatu arah. Indah. Padahal saya tahu, tidak lama lagi hujan pasti turun.
Dan benar saja, beberapa saat setelah saya kembali melanjutkan perjalanan, tetiba hujan menyirami kota semarang. Kembali saya melanjutkan aksi ketidakjelasan ini. Selang setelah memakai jas hujan, ada hasrat yang muncul dalam benak saya, yaitu menangkan partikel hujan. #setress nih mila.. %^&@#$

Sepanjang jalan pulang, alhasil tangan kiri saya gak mau diem. Menengadah ke atas seolah olah berusaha menangkap tetes-tetes hujan. Huwaaaaah.. seruuu ternyata pemirsah!! *silahkan, boleh di coba kalo kurang kerjaan* wkwkwk

Hujan saat itu deras. Partikelnya besar-besar. Terasa sekali menampar-nampar tangan saya. Sakit. Tapi menyenangkan. Sebab, saya suka dengan romantisme hujan, suka dengan caranya membuat kuyup, suka dengan caranya menampar-nampar wajah, suka dengan dingin yang dihembuskan, dan menggigil yang dihasilkan.
Sekali lagi. Ini menyenangkan.

*itu puisi saya untuk hujan kala itu*
Bagus kan? #pamer

Rabu, 05 Maret 2014

Cumulus Mundus



Dalam benak saya pernah terbersit :
“Bapak-bapak  itu, yang sudah menikah, yang punya anak sekian.. Bisa bertahan bekerja disini”. Lalu kemudian kalimat yang lain menyusul, “Subhanallah.. Saluut.”

Mereka dengan serta merta akan saya golongkan pada kelompok orang-orang keuren. Gak Cuma sekedar “keren” aja. Tapi KEUREN.
Mereka tidak tahu, kalau diam-diam saya menaruh 20 jempol untuk mereka. (4 jempol punya saya, dan 16 pinjam jempol tetangga).

Well. Paradigma ini yang sebetulnya harus diperbaiki. Bekerja disini bukan mencari rizki. Sebab, jika itu yang di cari, saya jamin, gak berselang lama setelah “mencicipi” pekerjaan ini, mereka akan merasakan gejala mual-mual, pusing, bersin, demam, gatal, keluar ingus, dan pada akhirnya ada perasaan yang sungguh tidak nyaman yang mengganggu sisi psikologis mereka *lebay*. Yang akhirnya semua itu bermanifestasi pada gejala kronis “pengin keluar”.
Yaah.. wajarkah itu?
Emm.. maybe.

Makanya, saya lebih senang menyebut bekerja disini adalah bentuk pengabdian. Pelayanan sosial. Jelas, orang-orang yang ada disini harus teruji dulu tingkat jiwa sosialnya. Karena ini yang akan menguatkan dan menopang niat agar tetap bertahan meski badai selalu berdatangan.

Nah, ini mungkin yang menjadi motivasi bapak-bapak di atas. #huznudzan

Lah kalo saya?
Haah.. harus belajar lagi tentang ketulusan.