“My
little girl, the most beautiful girl in my life. Dialah yang jadi alasan ku
pacu semangat hidup dan menyimpan harapan.”
Itu
contoh. Kalimat mengharukan yang mungkin baru sepersekian juta dari
kalimat-kalimat yang keluar dari lisan para orang tua.
Pastinya,
baik saya atau siapapun tak asing dengan kalimat ini. Bahkan mungkin pernah
mendengarnya langsung dari papa dan mama? Hehe..
Sebenernya,
beberapa kali saya mendengar kalimat dengan inti yang sama. Tapi, karena saya
sedang melow.. makanya pas dapet kalimat ini, saya tergugah untuk menulis.
Sebetulnya
juga, 2 kali saya begitu merasa terguncang hati (?) tersebab mendengarnya.
Pertama, dulu. Dulu sekali. Sewaktu saya masih muda, masih jaman-jamannya jadi
remaja putri yang lucu, lugu dan imut-imut (?). Saya mendengar langsung dari
seorang ibu. Beliau single parent. Punya anak satu. Korban perceraian, korban
pernikahan sirih yang tidak bertanggungjawab. Semua harta ludes di habiskan
oleh suaminya. Terlutang lantung bersama sang anak. Menginap disana sini
bermodal belas kasih para tetangga. Tidak punya pekerjaan tetap. Bermodal pula
dari kepercayaan para tetangga untuk meminta tenaganya. Tapi hey.. lihatlah.
Saat ini, detik ini, beliau masih bertahan hidup bersama anaknya. Lihatlah,
sang anak tumbuh besar, saat ini, dia kelas 2 SMA. Masih dengan kondisi yang
tidak banyak berubah kecuali usia yang semakin bertambah angka dan kulit yang
hari demi hari bertambah keriput. Masih single parent.
Tahukah
apa rahasianya?
Anak.
Yap.. dulu, para tetangga bersepakat untuk membawa anaknya jauh dari sang ibu.
Dengan tujuan di carikan orang tua asuh yang memang lokasinya cukup membuat
jarak tak bisa di elakkan di antara mereka berdua. Awalnya, semua berjalan
baik-baik saja. Tidak lama, (kalau gak salah kurang dari 1 bulan), sang ibu
tidak kuasa, dia memilih menemui sang anak, mencarinya, dan membawanya kembali
ke dalam pelukannya.
Ah,
betapa mengharukan.. saat ditanya atas pilihannya itu, beliau menjawab :”Apa
yang bisa ku lakukan tanpa anakku?, dia yang membuatku tetap bertahan hidup
setelah apa yang terjadi dalam kehidupanku. Aku bisa hidup, bisa bertahan
menanggung beban, karena aku punya semangat. Dan anakku adalah semangatku”.
(ini
modifikasi, tanpa mengurangi makna. Abisnya lupa redaksinya. Hehe)
Mau
tissue?? *niiih sambil #usapingus
Kedua.
Ya kalimat yang paling awal tadi.
Well.
Betapa dahsyatnya pengaruh kehadiran anak dalam kehidupan manusia. Lihat saja.
Saya cukup mengamati fenomena ini. Sepasang sejoli yang baru menikah, wajar
jika mereka kasmaran. Saling memprioritaskan satu sama lain. Saling memberikan
perhatian lewat apapun (maka apapun menjadi sarana ini : ya FB, Twitter,
tumblr, blog, de el el) yang intinya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa
mereka tengah kasmaran. -___-
Nah,
setelahnya, setelah memiliki buah hati. Anak adalah hal yang prioritas dan
istimewa. Para orang tua akan terlihat sibuk menambah keilmuwan tentang
pendidikan anak. Apapun, demi anak. Untuk anak. Sang ayah rela banting tulang
belulangnya demi anak. Sang ibu rela remuk redam tubuhnya demi melayani dan
merawat buah hatinya. Ini tak hanya berjalan satu dua tahun saja. Melainkan
sepanjang hayat yang mereka miliki. Lihatlah tabungan mereka, untuk siapa?
Untuk sekolah anak. Lihatlah senyum gembira mereka, pada siapa? Pada setiap
kelucuan tingkah polah, pada setiap perkembangan buah hatinya. Lihatlah air
mata mereka, untuk siapa? Untuk setiap luka anaknya. Lihatlah, apapun yang
tercipta pada wajah mereka. Rasa-rasanya semua itu mengikuti alunan ritme
kehidupan sang anak.
Sebegitu
besarnya pengaruh anak.
Sedangkan
kita? Anak-anaknya para orang tua.
Mari
berkaca, sebesar apa pengaruh orang tua terhadap kehidupan kita?
Atau..
jangan-jangan mereka dengan mudah dikalahkan oleh sesuatu yang maya dan semu.
Ah.. tentu, selalu.. peribahasa ini yang masih favorit untuk di dendangkan di
telinga kita :
“kasih
ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar