Nantinya,
kita tak perlu membaca buku yang sama.
Aku memahami
cara berpikirmu, bukan ia yang menulis buku di hadapanmu itu.
Nantinya,
kita tak perlu menikmati jenis masakan yang sama.
Bukankah di
dunia ini memang begitu banyak bumbu?
Nantinya,
kita tak perlu jatuh cinta pada langit yang sama.
Pagi atau
senja, sama-sama cantiknya.
Nantinya,
kita pun tak perlu jatuh cinta pada Bumi yang sama.
Timur atau
barat, sama-sama dalam kuasa-Nya.
Nantinya,
kita tak perlu sibuk dengan hobi yang sama.
Kau tahu,
bahagia itu memang timbul dengan banyak cara.
Nantinya,
kita tak perlu menikmati kopi dengan cara yang sama.
Kopimu tawar
tanpa gula. Aku, sebaliknya.
Bahkan, tak
perlu suka keduanya.
Bisa jadi,
kau justru membencinya. Tidak masalah.
Nantinya,
kita pun tak perlu selalu satu suara.
Ada kalanya
suarakulah yang kau tinggikan, meski kecenderunganku pada perasaan, bukan
rasionalitas.
Nantinya,
kita memang harus siap dengan segala pertidaksamaan.
Sebab
nantinya, hidup yang kita jalani seperti Aljabar, tidak melulu tentang
persamaan.
Nantinya,
kita memang tak perlu memiliki banyak kesamaan.
Sebab apa
jadinya pelangi jika ia berwarna merah semua?
Dan
nantinya, kita hanya butuhkan ini yang sama.
Ini, yang
mereka sebut cinta.
Cinta kita
adalah cinta karena-Nya.
Kita masih
satu frekuensi, kan?
Sefrekuensi
menuju Surga-Nya
Jika
frekuensi kita tak senada,
mungkin ini
saatnya berbenah.
***
reblogg from lanina lathifa..
iyaa.. nantinya.. tak melulu harus sama..
kau utara, aku selatan..
namun, cinta pada Nya lah yang lalu menyatukan utara dan selatan.
*haah,, refreshing..
its okey.. *seruput teh hangat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar