Proses
mendidik anak adalah proses belajar sepanjang hayat. Betul???
Bisa
jadi betul. Hmm.. mungkin jawaban saya ini belum bisa dikatakan tepat sebab saya
belum memiliki pengalaman menjadi orang tua. *haha.. alasan klasik*
Tapi,
untuk menjalani apa yang dinamakan belajar, tak melulu harus melaluinya
terlebih dahulu kan? Sebab banyak orang bijak di luar sana yang mau berbagi
pengalaman. Maka, jadilah kita menemukan hikmah tercecer dari sekumpulan kisah
yang terhampar.
Kembali
pada tema utama kali ini. Tentang anak. Kenapa ya, anak... lalu wanita... kedua
hal ini selalu menjadi topik yang tak pernah habis? Selalu menarik meski sudah
sering banyak di bahas. Selalu membuat penasaran meski apa yang ada pada mereka
adalah rahasia umum. Selalu terkesan baru meski sepertinya kisah demi kisahnya sangat
klasik. Bahkan sudah ada sejak jaman rambut fir’aun di belah tengah. Mungkin. Dan
kalian juga akan menemukan beberapa catatan saya, terinspirasi dari 2 jenis
makhluk hidup ini. Kenapa? Kenapa??? Kenapaaa????
Apakah?
Apakah
karena saya wanita (?)
Saya
rasa bukan.
Ah..
sudahlah.. Saya seperti terpenjara pada proses yang bernama ‘finding the root cause’. lalu, kemudian
saya akan sampai pada apa yang pernah di ajarkan dalam kehidupan para pelajar
bernama 5W 1H. Forget it!
Bukan.
bukan ini yang ingin saya ceritakan. Ah.. kenapa jadi ngelantur kemana-mana.
Begini,
masih dengan kisah bersama donatur tersebut *tenang.. ini bukan tentang gamis
lagi*. Beliau sempat bercerita pada saya tentang banyak tingkah laku anak
didiknya (secara ya, beliau itu guru.. #catet!). Salah satu cerita yang bikin
saya agak WAUW gimana gitu adalah saat beliau membuat suatu analisis yang
menurut saya sangat bisa menjadi rujukan *hiperbol*.
Yaitu,
saat beliau mendapati salah satu muridnya adalah a thief. Lalu beliau segera melakukan tindakan dengan memanggil
orang tuanya. Bukan untuk marah-marah. Tapi, beliau berusaha menggali apa yang
menjadi penyebab sang anak terpaksa mengambil milik orang lain. Usut punya usut,
ternyata sang ibu sedang memberikan terapi “doyan makan”(?) pada sang anak.
Walhasil.. berat badan sang anak tumbuh dengan pesatnya. Dia mampu melampaui BB
anak-anak seusianya. Sedangkan, ujar donatur saya, sang ibu tidak memberikan
fasilitas pertumbuhan anaknya dengan baik. Sang anak hanya diberikan uang jajan
2000 rupiah dengan kondisi “doyan makan” seperti itu. Padahal, lanjut donatur
saya, susu UHT saja sudah berharga 4000, bagaimana sang anak mampu memenuhi
kebutuhannya? akhirnya, mengambil uang milik teman-teman menjadi jalan problem solving nya. Pada kesimpulannya,
orang tua sang anak tidak cukup baik dalam proses pemenuhan kebutuhan buah
hatinya.
Sederhana
mungkin ya analisis beliau. Tapi, saya tidak cukup yakin, bahwa banyak orang
tua memiliki kepekaan sejauh itu, yang tidak cepat menghakimi, yang tidak cepat
mengambil kesimpulan yang asbun *asal bunyi*. Tidak hanya untuk guru saat
mendapati kenakalan murid-muridnya. Tapi kita, Apakah kita sering melakukan
perenungan sejauh ini sebelum kita menghakimi seseorang?? *tanya sama tembok*.
Pada
orang dewasa, kita sering mendengar bahwa sebuah perilaku pasti memiliki motif.
Begitu pula pada anak. Mereka yang lucu, imut-imut, menggemaskan, cubit-able
dan unyel-able, pun memiliki motif saat melakukan tindak kenakalan. Maka, bukan
menghakimi lalu memarahi yang menjadi solusi utama saat berhadapan dengan
mereka. Tetapi, sepantasnyalah kita *orang dewasa* melakukan proses finding the root cause yang bijaksana.
Dengan begini, saya yakin, anak-anak akan mendapatkan pengajaran luar biasa
dari kita *orang dewasa* bagaimana seharusnya bersikap. Dan saya yakin, proses
pemahaman dengan dasar root cause pada anak,
akan membuat mereka belajar dari kesalahan lalu memperbaikinya. Tidak dengan
jalan memarahi tanpa tahu sebabnya. Selain itu, kita *orang dewasa* pun akan
mampu belajar.. bahwa nyatanya, kita lah yang menjadi sebab utama anak-anak
bertingkah laku nakal dan kurang sopan. Mari mengaca *sodorin cermin*.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar