Ke-kangen-an menumpahkan kelelahan di Perpustakaan
daerah akhirnya tercapai juga. Setelah mondar mandir ngurus surat perijinan
penelitian di Bapedda dan ke cilongok, akhirnya badan ini melabuhkan diri di
sebuah bangunan sederhana di kawasan jalan gatot soebroto, kota purwokerto.
Berkat pengalaman ketidak sengajaan mampir ke
bangunan berlantai satu ini, ketika menanti jadi-nya surat perijinan, dan
menemukan sebuah buku yang cukup menarik perhatian “Istana Kedua”.
Sepertinya menarik, secara, penulisnya juga bukan
orang sembarangan, Asma Nadia.
Finally, aku kuatkan tekad untuk meminjam buku ini
esok hari (red : hari ini). Hehehe.. (agak lebay)
Juga berkat alasan ke-kangen-an membaca buku2
fiksi. Yaaa.. secara, selama 4,5 tahun bergulat di dunia perkampusan, buku
fiksi yang sukses ku lahap hanya bisa di hitung jari. Whhaattt?? sok-sokan jadi
mahasiswa intelek (ceritanya), jadi beruhasa melahap buku2 yang non fiksi, yang
berat-berat (ukuran boleh kecil, tapi isinya…hmmm, cukup bikin otak keringetan
membacanya). Well, brusaha mempraktekkan “bacalah apa yang kau butuhkan, bukan
hanya yang kau inginkan”. Yaahh, dan menurutku, sekali lagi, ini menurutku lho
ya, novel, dan karya2 fiksi lainnya masuk ke dalam kategori “yang dinginkan”.
Tapi, kesukaan terhadap karya fiksi tetap tak
memudar, terutama novel-novel yang punya bobot dari penulis2 berbobot (bukan
endut lho ya.. V^^).
Istana Kedua.
Ini novel pertama yang ku baca dalam sejarah
per-sekripsi-an.
Bukunya kecil, ukurannya kayak novel-novel Mira W.
Gak tebel juga, tapi cukup tebel bobotnya..
Ini novel khusus dewasa, karena isinya juga
dewasa, hehe.. maksudnya ini novel bercerita tentang kehidupan pernikahan dan
setelah pernikahan. So, recommended banget buat yang mau melanjutkan ke jenjang
ini, (termasuk aku, hehehe… :p, Aamiin )
Oke, ini beberapa cuplikan dalam “Istana Kedua”
(dengan beberapa editan).
“Pernikahan
bukan hanya bertemunya dua hati, dua raga dan dua keluarga. Tapi pernikahan
juga penandatanganan perjanjian. Nasib nya atas nasib pasangan, umurnya atas
umur pasangan. Senang dan susah, tawa dan air mata, ada dan tiada.”
“Namun
sayang, ketika seorang wanita menikah, ia lupa untuk membangun kesiapan apabila
sang suami jatuh cinta lagi dan meninggalkannya karena perempuan lain”.
“Sementara
sejarah panjang keterlibatan dalam kegiatan rohani kampus dulu, sama sekali
bukan ijasah yang bisa di andalkan.”
Menikah,
dinikahi, menikahi.
Satu
fase “sunnah” yang dijalankan oleh manusia. Benar, kalau ada yang bilang, “menikah
itu bukan final, tapi justru gerbang masuk ke dalam tahapan kehidupan
selanjutnya”.
Novel
ini berkisah tentang mendua yang disunnahkan. Ya, poligami.
Dalam
novel ini juga disuguhkan tentang 3 sudut pandang. Istri pertama sebagai sosok korban,
sang suami sebagai pelakunya, dan istri kedua sebagai istana keduanya.
Ceritanya
dibalut sungguh indah, cukup adil dalam sudut pandang. Tapi sebagai seorang
wanita, mbak penulis tetap menekankan pertanyaan pada alasan seorang suami
berpoligami.
Hmm..
Keputusan
itu, dan menerima keputusan itu,
Allah,,
betapapun mulianya keutamaan seorang istri yang ikhlas di sebegitukan oleh
suaminya,, tetap saja itu adalah sesuatu yang tak mudah.
Membayangkannya…
Berbagi
dan membagi.
(kenapa
tak mudah? Karena pahalanya adalah pintu surga khusus sayang...)
Salut
untuk wanita-wanita hebat ini,
Untuk
Arini (dalam novel ini), yang berhasil mengisap anak-anak panah menyakitkan itu
hingga menjadi satu dalam dirinya.
Ini
bukan kekalahan, sekali lagi.. ia telah memenangkan dirinya atas pesakitan akan
luka-luka istri pertama..
Allahu
akbar..
Dan
bagi laki-laki..
Selalu,
tak pernah faham apa yang dia pikirkan tentang hal ini.
(Ini
blognya wanita, yang menulis wanita, dan berasal dari sudut pandang wanita..
jadi mohon maaf atas terbatasnya pandangan..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar