Huff… keringat telah
membanjiri tubuhku. Batinku berharap, semoga ada angin yang berbaik hati
mendinginkan ragaku. Asap kenalpot yang sedari tadi menyemburat dari kendaraan
bermesin tak pernah lenyap di sepanjang jalan Gatot Soebroto. Sungguh membuatku
penat. Pikiranku entah melayang kemana, padahal angkot yang ku tunggu berulang
kali lewat di depan mata.
“ Eh liat San,” ujar
seseorang di belakangku. Suaranya mengembalikan pikiranku.
“Oh… Sita and the gank” lirihku ketika ku menoleh
ke sumber suara. Mereka teman sekelasku. Kumpulan anak-anak tajir. Aku malas
menyapa mereka. Toh mereka tak peduli dengan kehadiranku. Padahal, hatiku
mengagumi gaya mereka.
“Waah, ini nyokap lu San?
Gila, gaul abiizz…” teriakan itu membuat telingaku panas.
“Iya nih, kok bisa sih nyokap
lu sadar pergaulan masa kini? Pasti lu pengaruhin ya San?” ledek salah seorang
temannya.
“Eh balikin HP gue! Jangan
kelamaan liatanya.” Sandra. Ku tahu persis suaranya. Suara serak khas gadis
pindahan dari kota metropolitan itu.
Aku berusaha menoleh lagi ke
belakang, ternyata mereka bertiga sedang asyik tertawa, entah tentang apa. Aku
suka mereka, gaya mereka benar-benar menunjukan pergaulan remaja kota yang
modern. Tiba-tiba bibirku tersenyum.
♣ ♣ ♣ ♣
“Neng, ‘tos emam encan? Terus, ‘ntong hilap netepan nya ” ujar wanita setengah baya
yang tak lain adalah emakku. Logatnya kental sekali dengan bahasa sunda. Dengan
busana kebaya kesukaannya. Beda sekali dengan ibunya Sandra atau teman-teman yang
lainnya.
“Iya Mak,” jawabku malas
sembari pergi ke kamar. Ah, aku bosan dengan suasana rumahku. Enggak Bapak,
enggak Emak semuanya biasa saja. Tidak ada yang wah. Rumahku memang bukan gubuk
reyot, dan aku masih beruntung dari anak-anak desa lainnya. Bapakku orang yang
di hormati, beliau bahkan diamanahi menjadi Kepala Desa. Tapi bukan itu yang ku
inginkan.
Apalagi Emakku. Wanita yang amat biasa, lugu,
dan sangat menghormati adat istiadatnya. Nggak gaul, nggak ngerti pergaulan
anak jaman sekarang. Padahal Emakku adalah istri Kepala Desa. Termasuk orang
yang dihormati juga tentunya. Tapi sikapnya sama sekali tidak ingin berbeda
dengan orang lain, dengan warganya. Tidak ada yang berubah dari dirinya ketika
bapak menjadi warga biasa maupun ketika sekarang menjadi Kepala Desa.
“Amanah, ‘tos netepan encan?)” seru seseorang dari balik pintu
kamarku. Ku yakin itu suara emak. Siapa lagi yang selalu rajin mengingatkanku
akan kewajiban seorang muslim di rumah ini?. Ari jadi jalmi mah ulah sombong, nanti Alloh murka. Kata-kata itu
yang selalu Emak patrikan pada diriku.
“Emaaak, ana udah gede.
Jangan disuruh-suruh gitu kenapa sih? Kayak anak kecil. Ana pasti sholat kok.”
“Amanahwati....”
Aku menutup telingaku dengan
bantal serapat-rapatnya. Tak ingin mendengarkan lanjutannya. Aku benci orang
menyebut nama lengkapku. Kampungan, ndeso5).
Aku tak tau kenapa orang tuaku memberikanku nama seperti itu.
♣ ♣ ♣ ♣
Pagi yang cerah. Langit
benar-benar bersih dari gumpalan-gumpalan awan putih. Hawa sejuk desaku sungguh
menentramkan jiwa. Padahal jam sudah menunjukan 6.30.
6.30????!!!
Gawat!! Aku terlambat.
Padahal perjalananku ke sekolah cukup jauh. Ini gara-gara tadi malam. Uuhh..
sebel. Aku tak bisa berharap banyak pada emak untuk mengantarku. Mana mungkin?
Emak kan gak bisa mengendarai motor. Kalau bapak, terlalu sibuk dengan
tugas-tugasnya.
Aaaarrrrghhh.... ini semua karena peristiwa tadi malam!!.
♣ ♣ ♣ ♣
Dum…dum…dum.
Suara langkah pria berbadan subur memasuki ruang kelas. Dengan mata berbinar
dan wajah beseri yang dia tampakkan di depan kelas, sepertinya aku tahu maksud
komunikasi non verbalnya. Dan mungkin teman-teman yang lain juga sependapat
denganku. Dengan lagak sok berwibawa itu, Sigit, pemimpin kelas kami
mengumumkan sesuatu.
“Teman-teman,
Pak Amri nuju teu damang dan tidak
ada guru yang bisa menggantikan beliau, maka jam ini KOSONG.” Wajahnya penuh
seri. Sama sekali tak memperlihatkan rasa sedih. Aku bisa memprediksi perasaan
hatinya. Pasti senang sekali, karena Pak Amri kan guru yang paling dia takuti.
Tuh
kan…apa kataku.
“Horreeee!!!!!”,
teriak seisi kelas.
“Eh teman, kantin yuuk!,”
ujar seseorang tak lama setelah pengumuman itu. Aku menoleh ke samping kananku.
Rida. Teman segank Sandra. Mereka
memang biasa seperti itu.
“Okee,” jawab sandra.
“Eh, enak ya San. Lu dianter
jemput mulu ma nyokap,” celetuk Sita ketika mereka hendak meninggalkan kelas.
“Pantes gak pernah telat,” lanjutnya.
“Iya nih. Udah gaul, canik,
sayang anak pula. Bener-bener nyokap idaman,” tambah Rida.
“Ha..ha..ha..ha…”
“kalian belum tau sih…”
sayup-sayup ku dengar suara Sandra dari balik pintu kelas. Aku mengernyitkan
dahi. Ah, tapi itu bukan urusanku.
♣ ♣ ♣ ♣
“Neng, sae teu kebayana?.”
Tiba-tiba emak hadir di kamarku. Sambil membawa kebaya barunya.
“Jelek!!”
sontak saja ku jawab seperti itu setelah melihatnya sekilas.
“Masa
jelek sih?. sok ningali deui nah. Kata
ibu-ibu arisan mah bagus. Kata bapak
juga bagus kok.” Sanggah Emak dengan
rasa tak percaya.
“Karena
aku gak suka Mak! Aku gak suka Emak pake kebaya kampungan itu. Kenapa Emak gak
coba pakaian yang lebih modern aja sih? Kayak ibu teman-temanku.!!” suaraku
makin meninggi. Entah apa yang membuatku seperti ini. Rasanya batinku memanas.
Ku ingin melimpahkan keluhanku sekarang. Sekarang! “ anah teh bosen Mak, liat model Emak yang gak berubah dari dulu. Coba Emak
berdandan sedikit, pake lipstik, bedak, kayak ibu temen-temenku. Mereka gaul
dan cantik.”
Plakkk!!!
Tiba-tiba
tangan dari arah yang tak terduga menampar pipiku. Bapak ternyata mendengar
pekataanku dari tadi.
“Meni lancang! Bapak teh teu gak habis pikir, kami berusaha menyekolahkanmu ke SMA kota.
Berharap kamu jadi anak pinter, wawasan luas, biar gak seperti bapak jeung emak nu kampungan,teu ngarti nanaonan!!,”
bentak Bapak.
Aku hanya
bisa menunduk. Diam. Rasanya keberanianku untuk membela diri sudah lenyap tak
tau kemana. Ada sesuatu yang memukul hatiku. Sakit sekali, hingga mataku terasa
panas. Dan bulir-bulir bening terus memaksa keluar dari indra penglihatanku.
“Ayo Mak.
Biarkan saja anak yang tak tau terimaksih itu. Sina mikir…”
ku lihat
sekilas emakku. Hanya diam. tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Matanya memerah. Dan, aku dengar isak tangis yang sengaja ditahan oleh mulutnya.
Sedangkan kebaya hijau muda itu tak pernah lepas dari tangannya.
Apa
salahku?? Aku hanya ingin Emakku jauh lebih baik. Biar seperti ibu
teman-temanku. Menjadi ibu idaman.
“wooii!!
nglamun aja kerjaannya,” suaranya memecah lamunanku akan peristiwa tadi malam. “Bu
anjani bentar lagi masuk lho…”. Ragil, teman sebangkuku mengingatkanku akan
pergantian jam.
♣ ♣ ♣ ♣
Seperti
siang-siang sebelumnya. Udara terasa Panas. Aku dan Ragil berusaha mencari
tempat untuk berteduh dari teriknya matahari.
“Eh, itu kan Sandra. Enak ya,
ibunya pengertian banget,” bisik gadis bertubuh jangkung itu. Matanya menoleh
ke sebelah kiri kami. Lumayan dekat, jadi dia tak berani bersuara keras-keras.
Aku berusaha melihat ke arah
yang ditunjukan Ragil. Dan aku, hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. Tapi saat itu, Sandra
sendiri, tanpa Sita dan dan Rida di sampingnya.
“Duh, Mami kenapa jemput aku
sih??! Aku bisa kok pulang sendiri…” sayup-sayup ku dengar keluhan Sandra.
Gadis keturunan china dengan rambut sebahunya, kulitnya putih bersih.
“Kamu itu ya…bukannya
terimakasih sama mami, malah ngomel-ngomel gitu. Tau gak, kalau kamu pulang
sendiri, panas-panas gini kulitmu bisa jadi gosong.” lagaknya centil. Seperti
gadis kota kebanyakan. Tidak mencirikan seorang ibu sama sekali. Wajahnya
cantik, putih, tapi sepertinya tidak asli. Penuh polesan make up. Pakaiannya modis, sesuai dengan perkembangan jaman
sekarang. Sedang bersandar di samping Jazz
hitam megkilapnya.
“Biarin aja gosong. Justru
itu yang ku mau. Biar gak kayak Mami! Udah tua, tapi penampilan Mami bikin aku
enek!!” Aku lihat wajahnya penuh dengan kebencian.
“Sandra!!!”
Plakk!! Muka wanita itu
memerah padam. “Jangan kurang ajar ya,” lanjutnya. Tangannya menarik lengan
Sandra dan menyeretnya ke dalam mobil. Sandra sempat berontak, tapi tak
berhasil. Dan secepat kilat Jazz
hitam itu melaju kencang meninggalkan kami.
Aku dan Ragil hanya bisa diam
mematung menyaksikan adegan yang tak pernah kami bayangkan selama ini. Kami
lebih asyik dengan sejuta pikiran masing-masing. Terik mentari sudah tak kami
pedulikan. Dan segala hiruk pikuk jalanan Gatot Soebroto tak menarik lagi untuk
diperhatikan.
Tiba-tiba aku tersadar. Ada
sesuatu yang mendorongku untuk segera pulang ke rumah. Menemui wanita yang
tanpa sadar telah ku sakiti dengan
keegoisannku. Sungguh amat picik pikiranku selama ini. Ternyata kembang hati Emakku
jauh lebih indah dari ibu siapapun. Keindahannya tak pernah bisa dilihat oleh
hati-hati kotor macam hatiku. Hatinya sungguh mulia, indah, dan bersih. Penuh
keikhlasan, kerelaan dan ketawadhuan. Bahwa
sejatinya, kencantikan selalu terpancar dari kebeningan kembangnya hati.
Kenapa aku mesti malu dengan
kondisi orang tuaku? Toh, selama ini mereka tak pernah menuntutku untuk menjadi
seorang ’anak idaman’. Mereka mau menerimaku apa adanya. Sedangkan aku, aku
memang lancang telah memintanya mejadi ’orang lain’. Tak sadar, kristal bening
telah berjatuhan dari kelopak mataku. Dan angin yang berhembus, menerbangkan
ujung jilbab putihku.
”Kunaon Anah?14),” tanya Ragil yang sedari tadi telah
memperhatikanku. Mungkin dia heran melihatku tiba-tiba menangis.
Aku hanya menggeleng kepala. Tak
sanggup, dan memang tak ingin menceritakannya pada siapapun.
”Astaghfirullohal’adziim...astaghfirullohal’adziim...”
Aku ingin pulang secepatnya.
Pulang. Sekarang!!!
♣ ♣ selesai
♣ ♣
untuk para ibu,,
yang telah dengan tulus memberikan cinta bening pada keluarganya,,
hmmmmmm bagus ceritanya I like This... ^^ oya emang puwekerto itu orang sunda yaaa?
BalasHapushaha.. emang ada gitu kata "purwokerto" di cerpennya?
BalasHapusgak ada yo..
aku ngambil lattar crita dari daerah sunda,, :D