Aku begitu tertegun membaca kisah
cinta salah seorang pahlawan.. mungkin nama ini sudah cukup terkenal, terutama
jika yang sudah pernah baca atau minimal kenal dengan judul buku ini, “tafsir
fii zilalil Qur’an”. Yuph, betul sekali,, Sayyid Quthb.
Kalau mendengar kata “pahlawan”
atau “pejuang”, mungkin di benak kita akan membayangkan sosok yang tangguh dan
hebat ada dibelakang para pahlawan tersebut. Atau yaaaa.. minimal ada rasa penasaran
dikitlah,, “wah, siapa ya gerangan wanita yang beruntung jadi pendampingnya?”…
^^ hal inilah yang terkadang menampilkan sisi kehidupan pribadi bagi seorang
pahlawan. Namun, kalau ternyata kehidupan pribadinya tidak begitu bersahabat,,
siapakah gerangan yang mampu menjadi energy hebat dalam menampilkan
kepahlawanannya? Inilah yang menjadi suatu keajaiban di atas keajaiban.
Belajar dari kisah seorang
pejuang ini, membuatku semakin memahami, bahwa ternyata ada yang lebih hebat
dari sekedar cinta. Yang ini berbeda kisah.. Sayyid quthb tertanya memiliki
pengalaman yang memilukan akan percintaan. Bliau pernah 2 kali jatuh cinta,
namun juga 2 kali patah hati. Yang pertama, bliau jatuh cinta dengan gadis di
kampungnya, namun sungguh tragis, gadis tersebut ternyata menikah dengan orang
lain setelah 3 tahun ditinggal Sayyid quthb belajar di kairo. Sayyid pun
menangisi kejadian ini. Kemudian yang kedua, sayyid quthb jatuh cinta dengan
gadis asal mesir,, namun tragisnya, pada saat hari pernikahan mereka, sang gadis
dengan menangis, akhirnya mengakui bahwa sayyid adalah laki-laki kedua yang
pernah singgah di hatinya. Sontak, pernyataan itu akhirnya meruntuhkan
keangkuhan sayyid, bahwa ia menginginkan seorang wanita yang tidak hanya
perawan fisiknya, namun juga perawan hatinya. Namun, gadis itu hanya memiliki
keperawanan fisik. Sayyid merasa tenggelam dalam penderitaan yang panjang,
sampai akhirnya, ia harus memutuskan hubungan dengan sang gadis. Tapi justru
keputusan ini, membuatnya semakin menderita. Pada saat ia ingin rujuk, sang
gadis menolaknya. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan itu. Ia bahkan
membukukan romansa itu dalam sebuah roman.
Sayyid merasakan impiannya hancur
berkeping keping, “Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku,
atau perkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?” Setelah itu ia
berlari meraih takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fi Dzilalil Qur’an, dan
mati di tiang gantungan! Sendiri! Hanya sendiri!!
Sungguh memilukan bukan, kisah
percintaannya,, namun ada pelajaran yang begitu berharga yang ku ambil.
Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, dan sangkaan baik kepada Allah,
adalah keajaiban yang mampu menjadi sumber energy hebat untuk menjadikannya
tetap sebagai pahlawan kehidupan. Ketika kehidupan tidak cukup bermurah hati
mewujudkan mimpi mereka, mereka justru menambatkan harapan kepada sumber segala
harapan; Allah!
Maka, tak selamanya cinta
menjanjikan keindahan.. ketika hati tersayat oleh duri yang dihasilkannya, maka
berobatlah pada yang menciptakan cinta itu. Alloh, Robbul ‘izzati..
Untuk apa menangis karnanya?
Untuk apa rela mengakhiri hidup karnanya? Dan untuk apa rela menggadaikan akal
sehat oleh sesuatu yang sebenarnya terlalu kecil jika dibandingkan cinta Nya
pada kita?
Wallohu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar