Selasa, 18 Desember 2012

Kembang Kalbu




Huff… keringat telah membanjiri tubuhku. Batinku berharap, semoga ada angin yang berbaik hati mendinginkan ragaku. Asap kenalpot yang sedari tadi menyemburat dari kendaraan bermesin tak pernah lenyap di sepanjang jalan Gatot Soebroto. Sungguh membuatku penat. Pikiranku entah melayang kemana, padahal angkot yang ku tunggu berulang kali lewat di depan mata.
“ Eh liat San,” ujar seseorang di belakangku. Suaranya mengembalikan pikiranku.
“Oh… Sita and the gank” lirihku ketika ku menoleh ke sumber suara. Mereka teman sekelasku. Kumpulan anak-anak tajir. Aku malas menyapa mereka. Toh mereka tak peduli dengan kehadiranku. Padahal, hatiku mengagumi gaya mereka.
“Waah, ini nyokap lu San? Gila, gaul abiizz…” teriakan itu membuat telingaku panas.
“Iya nih, kok bisa sih nyokap lu sadar pergaulan masa kini? Pasti lu pengaruhin ya San?” ledek salah seorang temannya.
“Eh balikin HP gue! Jangan kelamaan liatanya.” Sandra. Ku tahu persis suaranya. Suara serak khas gadis pindahan dari kota metropolitan itu.
Aku berusaha menoleh lagi ke belakang, ternyata mereka bertiga sedang asyik tertawa, entah tentang apa. Aku suka mereka, gaya mereka benar-benar menunjukan pergaulan remaja kota yang modern. Tiba-tiba bibirku tersenyum.
♣ ♣ ♣ ♣
Neng, ‘tos emam encan? Terus, ‘ntong hilap netepan nya ” ujar wanita setengah baya yang tak lain adalah emakku. Logatnya kental sekali dengan bahasa sunda. Dengan busana kebaya kesukaannya. Beda sekali dengan ibunya Sandra atau teman-teman yang lainnya.
“Iya Mak,” jawabku malas sembari pergi ke kamar. Ah, aku bosan dengan suasana rumahku. Enggak Bapak, enggak Emak semuanya biasa saja. Tidak ada yang wah. Rumahku memang bukan gubuk reyot, dan aku masih beruntung dari anak-anak desa lainnya. Bapakku orang yang di hormati, beliau bahkan diamanahi menjadi Kepala Desa. Tapi bukan itu yang ku inginkan.
 Apalagi Emakku. Wanita yang amat biasa, lugu, dan sangat menghormati adat istiadatnya. Nggak gaul, nggak ngerti pergaulan anak jaman sekarang. Padahal Emakku adalah istri Kepala Desa. Termasuk orang yang dihormati juga tentunya. Tapi sikapnya sama sekali tidak ingin berbeda dengan orang lain, dengan warganya. Tidak ada yang berubah dari dirinya ketika bapak menjadi warga biasa maupun ketika sekarang menjadi Kepala Desa.
“Amanah, ‘tos netepan encan?)” seru seseorang dari balik pintu kamarku. Ku yakin itu suara emak. Siapa lagi yang selalu rajin mengingatkanku akan kewajiban seorang muslim di rumah ini?. Ari jadi jalmi mah ulah sombong, nanti Alloh murka. Kata-kata itu yang selalu Emak patrikan pada diriku.
“Emaaak, ana udah gede. Jangan disuruh-suruh gitu kenapa sih? Kayak anak kecil. Ana pasti sholat kok.”
“Amanahwati....”
Aku menutup telingaku dengan bantal serapat-rapatnya. Tak ingin mendengarkan lanjutannya. Aku benci orang menyebut nama lengkapku. Kampungan, ndeso5). Aku tak tau kenapa orang tuaku memberikanku nama seperti itu.
♣ ♣ ♣ ♣
Pagi yang cerah. Langit benar-benar bersih dari gumpalan-gumpalan awan putih. Hawa sejuk desaku sungguh menentramkan jiwa. Padahal jam sudah menunjukan 6.30.
6.30????!!!
Gawat!! Aku terlambat. Padahal perjalananku ke sekolah cukup jauh. Ini gara-gara tadi malam. Uuhh.. sebel. Aku tak bisa berharap banyak pada emak untuk mengantarku. Mana mungkin? Emak kan gak bisa mengendarai motor. Kalau bapak, terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya.
Aaaarrrrghhh.... ini semua karena peristiwa tadi malam!!.
♣ ♣ ♣ ♣
          Dum…dum…dum. Suara langkah pria berbadan subur memasuki ruang kelas. Dengan mata berbinar dan wajah beseri yang dia tampakkan di depan kelas, sepertinya aku tahu maksud komunikasi non verbalnya. Dan mungkin teman-teman yang lain juga sependapat denganku. Dengan lagak sok berwibawa itu, Sigit, pemimpin kelas kami mengumumkan sesuatu.
          “Teman-teman, Pak Amri nuju teu damang dan tidak ada guru yang bisa menggantikan beliau, maka jam ini KOSONG.” Wajahnya penuh seri. Sama sekali tak memperlihatkan rasa sedih. Aku bisa memprediksi perasaan hatinya. Pasti senang sekali, karena Pak Amri kan guru yang paling dia takuti.
          Tuh kan…apa kataku.
          “Horreeee!!!!!”, teriak seisi kelas.
“Eh teman, kantin yuuk!,” ujar seseorang tak lama setelah pengumuman itu. Aku menoleh ke samping kananku. Rida. Teman segank Sandra. Mereka memang biasa seperti itu.
“Okee,” jawab sandra.
“Eh, enak ya San. Lu dianter jemput mulu ma nyokap,” celetuk Sita ketika mereka hendak meninggalkan kelas. “Pantes gak pernah telat,” lanjutnya.
“Iya nih. Udah gaul, canik, sayang anak pula. Bener-bener nyokap idaman,” tambah Rida.
“Ha..ha..ha..ha…”
“kalian belum tau sih…” sayup-sayup ku dengar suara Sandra dari balik pintu kelas. Aku mengernyitkan dahi. Ah, tapi itu bukan urusanku.
♣ ♣ ♣ ♣
          “Neng, sae teu kebayana?­­.” Tiba-tiba emak hadir di kamarku. Sambil membawa kebaya barunya.
          “Jelek!!” sontak saja ku jawab seperti itu setelah melihatnya sekilas.
          “Masa jelek sih?. sok ningali deui nah. Kata ibu-ibu arisan mah bagus. Kata bapak juga bagus kok.” Sanggah Emak dengan rasa tak percaya.
          “Karena aku gak suka Mak! Aku gak suka Emak pake kebaya kampungan itu. Kenapa Emak gak coba pakaian yang lebih modern aja sih? Kayak ibu teman-temanku.!!” suaraku makin meninggi. Entah apa yang membuatku seperti ini. Rasanya batinku memanas. Ku ingin melimpahkan keluhanku sekarang. Sekarang! “ anah teh bosen Mak, liat model Emak yang gak berubah dari dulu. Coba Emak berdandan sedikit, pake lipstik, bedak, kayak ibu temen-temenku. Mereka gaul dan cantik.”
          Plakkk!!!
          Tiba-tiba tangan dari arah yang tak terduga menampar pipiku. Bapak ternyata mendengar pekataanku dari tadi.
          “Meni lancang! Bapak teh teu gak habis pikir, kami berusaha menyekolahkanmu ke SMA kota. Berharap kamu jadi anak pinter, wawasan luas, biar gak seperti  bapak jeung emak nu kampungan,teu ngarti nanaonan!!,” bentak Bapak.
          Aku hanya bisa menunduk. Diam. Rasanya keberanianku untuk membela diri sudah lenyap tak tau kemana. Ada sesuatu yang memukul hatiku. Sakit sekali, hingga mataku terasa panas. Dan bulir-bulir bening terus memaksa keluar dari indra penglihatanku.
          “Ayo Mak. Biarkan saja anak yang tak tau terimaksih itu. Sina mikir…”
          ku lihat sekilas emakku. Hanya diam. tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Matanya memerah. Dan, aku dengar isak tangis yang sengaja ditahan oleh mulutnya. Sedangkan kebaya hijau muda itu tak pernah lepas dari tangannya.
          Apa salahku?? Aku hanya ingin Emakku jauh lebih baik. Biar seperti ibu teman-temanku. Menjadi ibu idaman.
          “wooii!! nglamun aja kerjaannya,” suaranya memecah lamunanku akan peristiwa tadi malam. “Bu anjani bentar lagi masuk lho…”. Ragil, teman sebangkuku mengingatkanku akan pergantian jam.
♣ ♣ ♣ ♣
          Seperti siang-siang sebelumnya. Udara terasa Panas. Aku dan Ragil berusaha mencari tempat untuk berteduh dari teriknya matahari.
“Eh, itu kan Sandra. Enak ya, ibunya pengertian banget,” bisik gadis bertubuh jangkung itu. Matanya menoleh ke sebelah kiri kami. Lumayan dekat, jadi dia tak berani bersuara keras-keras.
Aku berusaha melihat ke arah yang ditunjukan Ragil. Dan aku, hanya bisa menjawab dengan  anggukan kepala. Tapi saat itu, Sandra sendiri, tanpa Sita dan dan Rida di sampingnya.
“Duh, Mami kenapa jemput aku sih??! Aku bisa kok pulang sendiri…” sayup-sayup ku dengar keluhan Sandra. Gadis keturunan china dengan rambut sebahunya, kulitnya putih bersih.
“Kamu itu ya…bukannya terimakasih sama mami, malah ngomel-ngomel gitu. Tau gak, kalau kamu pulang sendiri, panas-panas gini kulitmu bisa jadi gosong.” lagaknya centil. Seperti gadis kota kebanyakan. Tidak mencirikan seorang ibu sama sekali. Wajahnya cantik, putih, tapi sepertinya tidak asli. Penuh polesan make up. Pakaiannya modis, sesuai dengan perkembangan jaman sekarang. Sedang bersandar di samping Jazz hitam megkilapnya.
“Biarin aja gosong. Justru itu yang ku mau. Biar gak kayak Mami! Udah tua, tapi penampilan Mami bikin aku enek!!” Aku lihat wajahnya penuh dengan kebencian.
“Sandra!!!”
Plakk!! Muka wanita itu memerah padam. “Jangan kurang ajar ya,” lanjutnya. Tangannya menarik lengan Sandra dan menyeretnya ke dalam mobil. Sandra sempat berontak, tapi tak berhasil. Dan secepat kilat Jazz hitam itu melaju kencang meninggalkan kami.
Aku dan Ragil hanya bisa diam mematung menyaksikan adegan yang tak pernah kami bayangkan selama ini. Kami lebih asyik dengan sejuta pikiran masing-masing. Terik mentari sudah tak kami pedulikan. Dan segala hiruk pikuk jalanan Gatot Soebroto tak menarik lagi untuk diperhatikan.
Tiba-tiba aku tersadar. Ada sesuatu yang mendorongku untuk segera pulang ke rumah. Menemui wanita yang tanpa sadar  telah ku sakiti dengan keegoisannku. Sungguh amat picik pikiranku selama ini. Ternyata kembang hati Emakku jauh lebih indah dari ibu siapapun. Keindahannya tak pernah bisa dilihat oleh hati-hati kotor macam hatiku. Hatinya sungguh mulia, indah, dan bersih. Penuh keikhlasan, kerelaan dan ketawadhuan. Bahwa sejatinya, kencantikan selalu terpancar dari kebeningan kembangnya hati.
Kenapa aku mesti malu dengan kondisi orang tuaku? Toh, selama ini mereka tak pernah menuntutku untuk menjadi seorang ’anak idaman’. Mereka mau menerimaku apa adanya. Sedangkan aku, aku memang lancang telah memintanya mejadi ’orang lain’. Tak sadar, kristal bening telah berjatuhan dari kelopak mataku. Dan angin yang berhembus, menerbangkan ujung jilbab putihku.
Kunaon Anah?14),” tanya Ragil yang sedari tadi telah memperhatikanku. Mungkin dia heran melihatku tiba-tiba menangis.
Aku hanya menggeleng kepala. Tak sanggup, dan memang tak ingin menceritakannya pada siapapun.
”Astaghfirullohal’adziim...astaghfirullohal’adziim...”
Aku ingin pulang secepatnya. Pulang. Sekarang!!!
♣ ♣  selesai  ♣ ♣

untuk para ibu,,
yang telah dengan tulus memberikan cinta bening pada keluarganya,,
          

2 komentar:

  1. hmmmmmm bagus ceritanya I like This... ^^ oya emang puwekerto itu orang sunda yaaa?

    BalasHapus
  2. haha.. emang ada gitu kata "purwokerto" di cerpennya?
    gak ada yo..
    aku ngambil lattar crita dari daerah sunda,, :D

    BalasHapus