Rabu, 23 Januari 2013

Berbagi dan.. (Membagi)


Ke-kangen-an menumpahkan kelelahan di Perpustakaan daerah akhirnya tercapai juga. Setelah mondar mandir ngurus surat perijinan penelitian di Bapedda dan ke cilongok, akhirnya badan ini melabuhkan diri di sebuah bangunan sederhana di kawasan jalan gatot soebroto, kota purwokerto.

Berkat pengalaman ketidak sengajaan mampir ke bangunan berlantai satu ini, ketika menanti jadi-nya surat perijinan, dan menemukan sebuah buku yang cukup menarik perhatian “Istana Kedua”.
Sepertinya menarik, secara, penulisnya juga bukan orang sembarangan, Asma Nadia.
Finally, aku kuatkan tekad untuk meminjam buku ini esok hari (red : hari ini). Hehehe.. (agak lebay)

Juga berkat alasan ke-kangen-an membaca buku2 fiksi. Yaaa.. secara, selama 4,5 tahun bergulat di dunia perkampusan, buku fiksi yang sukses ku lahap hanya bisa di hitung jari. Whhaattt?? sok-sokan jadi mahasiswa intelek (ceritanya), jadi beruhasa melahap buku2 yang non fiksi, yang berat-berat (ukuran boleh kecil, tapi isinya…hmmm, cukup bikin otak keringetan membacanya). Well, brusaha mempraktekkan “bacalah apa yang kau butuhkan, bukan hanya yang kau inginkan”. Yaahh, dan menurutku, sekali lagi, ini menurutku lho ya, novel, dan karya2 fiksi lainnya masuk ke dalam kategori “yang dinginkan”.

Tapi, kesukaan terhadap karya fiksi tetap tak memudar, terutama novel-novel yang punya bobot dari penulis2 berbobot (bukan endut lho ya.. V^^).

Istana Kedua.
Ini novel pertama yang ku baca dalam sejarah per-sekripsi-an.
Bukunya kecil, ukurannya kayak novel-novel Mira W. Gak tebel juga, tapi cukup tebel bobotnya..
Ini novel khusus dewasa, karena isinya juga dewasa, hehe.. maksudnya ini novel bercerita tentang kehidupan pernikahan dan setelah pernikahan. So, recommended banget buat yang mau melanjutkan ke jenjang ini, (termasuk aku, hehehe… :p, Aamiin )

Oke, ini beberapa cuplikan dalam “Istana Kedua” (dengan beberapa editan).


“Pernikahan bukan hanya bertemunya dua hati, dua raga dan dua keluarga. Tapi pernikahan juga penandatanganan perjanjian. Nasib nya atas nasib pasangan, umurnya atas umur pasangan. Senang dan susah, tawa dan air mata, ada dan tiada.”

“Namun sayang, ketika seorang wanita menikah, ia lupa untuk membangun kesiapan apabila sang suami jatuh cinta lagi dan meninggalkannya karena perempuan lain”.

“Sementara sejarah panjang keterlibatan dalam kegiatan rohani kampus dulu, sama sekali bukan ijasah yang bisa di andalkan.”

Menikah, dinikahi, menikahi.
Satu fase “sunnah” yang dijalankan oleh manusia. Benar, kalau ada yang bilang, “menikah itu bukan final, tapi justru gerbang masuk ke dalam tahapan kehidupan selanjutnya”.
Novel ini berkisah tentang mendua yang disunnahkan. Ya, poligami.
Dalam novel ini juga disuguhkan tentang 3 sudut pandang. Istri pertama sebagai sosok korban, sang suami sebagai pelakunya, dan istri kedua sebagai istana keduanya.
Ceritanya dibalut sungguh indah, cukup adil dalam sudut pandang. Tapi sebagai seorang wanita, mbak penulis tetap menekankan pertanyaan pada alasan seorang suami berpoligami.

Hmm..
Keputusan itu, dan menerima keputusan itu,
Allah,, betapapun mulianya keutamaan seorang istri yang ikhlas di sebegitukan oleh suaminya,, tetap saja itu adalah sesuatu yang tak mudah.
Membayangkannya…
Berbagi dan membagi.
(kenapa tak mudah? Karena pahalanya adalah pintu surga khusus sayang...)
Salut untuk wanita-wanita hebat ini,
Untuk Arini (dalam novel ini), yang berhasil mengisap anak-anak panah menyakitkan itu hingga menjadi satu dalam dirinya.
Ini bukan kekalahan, sekali lagi.. ia telah memenangkan dirinya atas pesakitan akan luka-luka istri pertama..
Allahu akbar..

Dan bagi laki-laki..
Selalu, tak pernah faham apa yang dia pikirkan tentang hal ini.

(Ini blognya wanita, yang menulis wanita, dan berasal dari sudut pandang wanita.. jadi mohon maaf atas terbatasnya pandangan..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar